10 Jul 2012

Silaturahim (Awal Mencari Rezky)


Hari rabu tepatnya pada tanggal 04 Juli. Aku bermaksud memasukkan surat permohonan lamaran kerja di sebuah ponpes di daerah tempat tinggalku. Pagi itu, entah mengapa suasana hatiku begitu kusut, ibarat kain yang udah seminggu nggak disetrika. Namun, perjalanan pagi itu kubuat mengasyikkan, kusingkirkan sejenak kesemberawetan hatiku. Seraya berdo’a semoga Allah memberikan kemudahan ikhtiarku. Nasib seorang sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, berharap belas kasih kepada Sang pemberi rezky.
Setibanya di ponpes, keningku mengernyit, ternyata ponpes sepi, sempat aku berniat untuk banting stang belok kanan untuk mengurungkan niatku. Tapi, tekadku ternyata mengalahkannya. Aku meneruskan gas sepeda motorku masuk kedalam ponpes.
Perlahan aku memasuki kawasan ponpes, dengan membawa kebingungan dimanakah harus kuberhentikan sepeda motorku ini. Aku turutkan instingku untuk mengambil jalan lurus hingga bertemu dengan seorang akhwat yang sedang bermain dengan seorang anak laki-laki.
Ucapan tahmidpun menggeliat dihatiku. Tanpa basa basi aku langsung mematikan mesin motorku. Dan bersalaman dengannya selayaknya orang yang telah kenal cukup lama. Alhamdulillah dia begitu ramah. Melihat wajahnya, ia terlihat sudah cukup dewasa, mungkin karena ada seorang anak disisinya. Namanya L*** dan nama anak laki-laki yang berusia 3 tahun itu adalah *b**. Anak laki-laki yang ku lihat patuh pada ibunya.
 Pemicaraan hangatpun mengalir begitu saja diantara kami. Tanpa melupakan tujuan utamaku ke ponpes tersebut. Ternyata, L*** adalah seorang pengajar di pondok itu. L*** juga tidak sungkan menerangkan sedikit sistem yang harus dijalani seorang pengajar di ponpes tersebut. Salah satunya adalah seorang guru yang mengajar disini khususnya bagi yang lajang harus tinggal di ponpes tersebut. L*** juga tidak keberatan mengantarkanku kerumah kepala Aliyah ponpes tersebut.
Sesampai dirumah kepala aliyah ponpes tersebut, aku disambut ramah oleh Bapak kepala dan isterinya. Surat lamarankupun dibaca oleh Bapak kepala tersebut dengan seksama, dan akupun diminta untuk menunggu konfirmasi darinya, karena Beliau harus menyampaikan surat lamaranku itu dulu pada pimpinan ponpes yang sedang berada diluar kota. Dan akupun mengiyakan ucapannya.
Aku mengantar L*** kerumahnya yang berada di luar ponpes tersebut. Posisi rumah L*** tepat di samping ponpes hanya dibatasi gang kecil saja, lumayan dekat jika harus berjalan kaki. L*** juga tidak berat mengajakku untuk bersilaturahim ke rumahnya. Seperti silaturahim secara umum, sang pemilik rumah selalu merendahkan situasi dan kondisi rumah pada sang tamu. Rumahnya cukup sederhana, di ruang tamu hanya ada karpet plastic yang membentang dan sebuah TV. L***pun menyuguhkan aku makanan beserta air minum tak berwarna.
Dalam silaturahim itu, terangkailah cerita antara kami. Usianya terpaut satu tahun dibawahku. Namun, pengalaman hidup telah membentuk pemikirannya terlihat dewasa.
L*** tidak sungkan-sungkan menceritakan tentang sepenggal kisah hidupnya, khusunya kisah saat ia nyatri di ponpes, kisah ia dijodohkan oleh ortunya hingga kisah rumah tangganya. Aku terkesan dengan wajah dan suara lembut itu. Wajah itu begitu bersahaja. Ada pancaran keimanan yang kutangkap disana.
Dengan pancaran mata yang biasa dan raut wajah yang damai, ia berkata bahwa dengan air mata ia mengawali kehidupan berumah tangga. Perjodohan yang harus ia terima ternyata membuatnya harus mengenal pendamping hidupnya setelah beberapa bulan hidup bersama, ia baru mengenal watak, sikap dan kebiasaan pendamping hidupnya yang mungkin jauh dari sangkaannya. Kehidupan saat ia masih lajang yang penuh dengan suka cita harus berputar terbalik 180 derajat setalah hidup berumahtangga. Namun, sungguh luar biasa, pancaran mata itu masih biasa tiada pantulan air mata yang menggenang disana. Hingga kalimat yang selalu terucap dihadapnnya hanyalah kalimat tasbih dan kata semangat untuknya.
Ia selalu berharap ilmu yang ia peroleh saat diponpes dapat berguna untuk dakwah dan ia berharap suaminya mampu menjadi imam yang baik baginya dan aku[un mengaminkannya. Sungguh hatiku ingin berlama-lama disana, namun waktu tak dapat ku tapik. Inilah keberkahan dari silaturahim, kekusutan hatiku pagi itu hilang seketika, dan berubah dengan suasana yang damai dan semangat.



0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya...silahkan tinggalkan sarannya...^_^