23 Mei 2016

KAJIAN PARENTING

 Kajian Parenting 
Sabar membaca,ya
by ibu Elly Risman
(Senior Psikolog dan Konsultan, UI)

Pernah mencoba membetulkan keran sendiri? Pasang lampu bohlam sendiri?

Ganti ban motor atau mobil yang bocor di jalan? 

Me-lem sesuatu yang sdh terlanjur patah?

Membuka botol kaca yang Allahu akbar sangat susah dibuka?

Memasak sambil menggendong anak bahkan disambil lg dg menaruh pakaian kotor ke mesin cuci?

Menyetrika sambil bicara dg mertua ditelfon dan kaki menggoyang2kan bouncer agar bayi tidak bangun dan menangis tanpa henti?

Hidup ini penuh masalah, cobaan, kesulitan, tantangan

dan pekerjaan susah yang kadang mau tidak mau hrs kita jalani.

Di Indonesia enak. Tkg ledeng terjangkau, pembantu ada, supir banyak yang punya.

Yang pernah (atau masih) tinggal di negara maju tahu betul bahwa pelayan dan pelayanan itu di luar jangkauan saku kita pada umumnya.

Laah yang bekerja saja belum tentu bisa membayar mereka, apalagi yang ke luar negrinya untuk ngejar S3...

Kita tidak tahu anak kita terlempar di bagian bumi Allah yang mana nanti, izinkan dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri.

Jangan memainkan semua peran, ya jd ibu, ya jd koki, ya jd tkg cuci. Ya jd ayah, ya jadi tukang ledeng, ya jadi pengemudi.

Anda bukan anggota tim SAR, anak anda tidak dalam keadaan bahaya, berhentilah memberikan bantuan bahkan ketika sinyal S.O.S nya tdk ada. Jangan mencoba untuk membantu dan memperbaiki semuanya.

Anak mengeluh sedikit krn itu puzzle tidak bisa nyambung menjadi satu, ‘sini..ayah bantu’. Botol minum ditutup rapatnya sedikit susah, ‘sini.. mama saja’.

Sepatu bertali lama diikat, sekolah sdh hampir telat ..‘biar ayah aja deh yang kerjain’, kecipratan minyak sedikit ‘sudah sini, kentangnya mama saja yang gorengin’.

Kapan anaknya bisa? Jgn kan di luar negri, di Indonesia saja pembantu sdh semakin langka.

Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, apa yang terjadi ketika bencana benar2 tiba?

Berikan anak-anak kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri.

Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi itu keterampilan/skill  yang wajib dimiliki.

Yang namanya keterampilan/skill, untuk bisa terampil, ya hrs dilatih.

Kalau tanpa latihan, lalu diharapkan simsalabim mereka jadi bisa sendiri??

Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan.

Bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi, tapi juga lulus melewati ujian badai2 pernikahan dan kehidupannya kelak.

Tampaknya sepele sekarang..secara apalah  salahnya sih kita bantu anak?

Tapi jika anda segera bergegas menyelamatkannya dari segala kesulitannya, dia akan menjadi ringkih .. dan mudah layu.

Susah sedikit... bantuan diminta.
Berantem sedikit ya sdh lah, cerai saja.
Sakit sedikit ngeluhnya luar biasa,
Masalah sedikit... bisa jd gila.

Kalau anda menghabiskan banyak waktu, perhatian dan uang untuk IQnya, habiskan hal yang sama untuk AQ nya juga.

AQ ? Apa itu? Adversity Quotient.

Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya yg berjudul sama, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. 

Bukannya kecerdasan ini yg jd lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?

Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa nikmatnya. Merasa bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tdk lagi bisa.

Setelah dicoba berkali-kali, berulang-ulang, tdk menyerah dalam waktu yang lama.

So izinkan anak anda melewati kesusahan.

Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit telat dan sedikit kehujanan. Akui kesulitan yang sedang dia hadapi,

Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan, ajari menangani frustrasi.

Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika anda tdk bernafas lagi esok hari?

Bisa-bisa anak anda ikut mati.

Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih

Apalagi dg menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi, jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua

Tapi sadarilah hidup penuh dengan ketidakenakan dan masalah akan selalu ada.

Dan mereka harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai, dan kesulitan, yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan.

"Permata hanyalah arang... yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik"

Salam Senyum Penuh Syukur 

13 Mei 2016

PEMAHAMAN YANG BENAR MENUJU AMAL YANG BENAR

Kebagian ngeresume Kaidah 17 dari buku Qowa'idud Da'wah Ilallah

Sekilas tentang Qowa’idud (Kaidah) Dakwah Ilallah
Berdakwah itu menabur cinta, karena ketika berdakwah, seorang dai mengupayakan keselamatan umat manusia dari api neraka. Dai menawarkan surga sebagai hadiah kepada orang-orang di sekelilingnya dan menunjukkan mereka jalan menuju bahagia. Semua ini dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan. Bahkan memang tidak boleh ada imbalan. “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Hûd: 29). (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 149)
Itulah cinta sejati. Tidak ada cinta yang lebih murni dari kecintaan seorang dai terhadap mad’unya seperti ini. Tidak ada ketulusan yang lebih tinggi dari ketulusan seorang dai terhadap dakwahnya seperti ini. Tidak ada. Bahkan berdakwah merupakan manifestasi tertinggi dari ibadah, yang wujudnya, sebagaimana disampaikan oleh Ar-Razi adalah mengagungkan perintah Allah dan berbelas kasih terhadap makhluk-Nya. (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 3 )
Karena semua demi cinta maka segala aktivitas dakwah menjadi terasa ringan. Dan karena semua berlandaskan cinta maka kerja-kerja dakwah membahagiakan. Sesibuk apa pun seorang dai dengan dakwahnya, ia akan tetap bekerja dengan senang dan gembira. Kerja dakwah tidak sebagaimana yang disangka oleh banyak orang; yang penuh dengan kesulitan, kepayahan, kerugian, dan rasa sakit. Dakwah adalah sesuatu yang enak dirasakan dan nyaman di hati. Untuk itu, para dai rela mengorbankan sesuatu yang berharga dari miliknya di jalan dakwah. Mereka rela menahan ujian dan godaan demi dakwah. Mereka menjadi orang yang paling bahagia dengan dakwah di jalan-Nya. (Qowa’idud Da’wah Ilallah, h. 8).
Saat kerja dibalut cinta, segalanya terasa indah dan penuh semangat. Dan agar cinta itu dapat tersampaikan kepada sebanyak-banyak orang, maka dibutuhkan kerja-kerja dakwah yang harmoni. Untuk itu, dibutuhkan kaidah-kaidah yang mengaturnya. Ada aturan mainnya. Jadi, dakwah tidak bisa berjalan serampangan. Seorang dai yang bijak tidak asal mengatakan semua yang diketahuinya kepada semua orang yang dikenalnya. Seorang dai yang bijak harus mempertimbangkan kadar kemampuan pikiran mad’u dan tidak boleh membebaninya di luar batas kemampuan mereka. Titik kesimpulannya, dakwah membutuhkan kaidah-kaidah yang mengaturnya, agar menjadi dakwah muntijah; dakwah yang kebaikannya bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin orang sebagai wujud Islam yang rahmatan lil alamin.
(Kutipan)

<3 span="">

KAIDAH 17

PEMAHAMAN YANG BENAR MENUJU AMAL YANG BENAR

1. Arti Al-Fahmu (Paham)
2. Unsur-unsur Pemahaman
3. Meninjau Ulang Pemahaman

 <3 b=""> 

1. Arti Al-Fahmu (Paham)

Pemahaman berasal dari kata paham. Apa arti kata paham? Apakah sama dengan arti kata tahu?

Dalam kamus besar bahasa Indonesia
paham/pa·ham/ 1 n pengertian: pengetahuan banyak, -- nya kurang; 2 n pendapat; pikiran: -- nya tidak bersesuaian dengan -- kebanyakan orang; 3 n aliran; haluan; pandangan: ia mempunyai -- nasionalis; 4 v mengerti benar (akan); tahu benar (akan): sebenarnya saya sendiri tidak begitu -- akan perkara itu; 5 a pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal): ia -- bahasa Sanskerta; ia -- dalam pembuatan gula;angan lalu, -- tertumbuk, pb suatu hal yang banyak halangannya meskipun tampaknya dapat dilakukan dengan mudah;

tahu1/ta·hu/ v 1 mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya): ia -- bahwa saya yang menolongnya; perkara mesin, dia lebih -- daripada saya; 2 kenal (akan); mengenal: ia tidak -- akan sanak saudaranya lagi; 3 mengindahkan; memedulikan: ia sudah tidak mau -- lagi kepada anaknya; 4 mengerti; berpengertian: siapa yang -- apa maksud tanda ini?; 5 pandai; cakap: sedikit-sedikit saya -- juga tentang mesin; 6 insaf; sadar: dia tidak -- akan kekurangannya; 7 cak pernah: petinju itu tidak -- menang; adikku tidak -- membolos;-- di asin garam, pb banyak pengalaman; -- makan -- simpan, pb dapat menyimpan rahasia baik-baik;

Menurut Said (2016) dalam Lisaanul Arab, paham (al-fahmu) berarti mengetahui sesuatu dengan hati. Sedangkan tahu (al-ilmu) adalah mengenal sesuatu (hlm. 215). Berdasarkan pengertian tersebut, maka arti kata paham dan tahu jelas berbeda. Paham memiliki arti lebih dalam dari kata tahu, sedangkan tahu hanya sekedar dipermukaannya saja.

Ilmu adalah pengetahuan dibawah pemahaman yang hanya terbatas pada hati, karena itu kalimat “al-fahmu” terkait dengan “al-ilmu” dalam meletakan definisinya. Biasanya penggunaan kalimat “fahimta?” (sudahkan anda paham), setelah diyakini segala informasi dengan gambaran yang seutuhnya telah tersampaikan, dan segala sisinya telah diimplementasikan dengan baik, tidak hanya sekedar tahu. Seorang pelajar tidak akan paham tentang perbandingan kimiawi bila hanya mengetahui rumusnya, sebelum Ia pergi ke laboratorium untuk menguji perbandingan tersebut, sehingga Ia dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dan mencium sesuatu yang baru, pada saat itulah analisanya tidak hanya berdasarkan pengetahuan semata tetapi berdasarkan pemahaman, karena Ia telah mendapatkan dengan perasaan dan hatinya sesuatu yang banyak yang tidak sempurna hanya dengan rumus belaka. 

Apakah pengetahuan yang parsial akan mempengaruhi sebuah pemahaman?  
Yup, tentu saja. Pengetahuan yang parsial akan menyebabkan mundurnya pemahaman

Apa dampaknya dalam dakwah?
Pengetahuan yang parsial tidak akan membentuk pemahaman yang kaffah. Seperti siswa yang hanya mengetahui sebuah teori bahwa reaksi kimia ditandai dengan beberapa ciri-ciri yaitu menghasilkan endapan, menyebabkan perubahan warna, menghasilkan gas, dan menghasilkan perubahan suhu. Pengetahuan itu tidak dapat menjadi sebuah pemahaman yang bulat, jika siswa tidak mencari tahu atau mengaitkan teori yang ia peroleh dengan kegiatan pratik. Pengetahuan yang parsial tentu saja juga dapat terjadi pada pelaku dakwah yaitu da’i/ah (khususnya) yang akan menyebabkan keterbelakangan dalam pemahaman itu sendiri. Parahnya, jika pelaku dakwah (da’i/ah) menyampaikan pengetahuan yang bertolak dari pemahamannya yang parsial dan objek dakwah (umat islam) menerimanya mentah-mentah (sudah puas begitu saja tanpa mencari lagi dan lagi), maka umat islam itu sendiri yang menjadi korban dalam “kebodohan”.
Pengetahuan yang sektoral akan menjadi penyebab mundurnya pemahaman, karena itu umat Islam dewasa ini banyak ditimpa pengetahuan sektoral yang secara zahir tampak tinggi pengetahuannya tapi hakekatnya masih belum memiliki pemahaman yang baik. Kita melihat ada kalangan Fuqoha dan Ulama yang memiliki banyak pengetahuan dan spesialisasinya, tetapi mereka tidak menguasai arah spesialisasinya di tengah berbagai pengetahuan lainnya, dan tidak memfokuskan spesialisasinya menyatu dan bersinergi dengan spesialisasi lainnya, dan tidak mencari keterkaitan dan keterikatan antara satu dengan yang lainnya, serta mereka tidak hidup dengan spesialisasinya itu dalam sebuah bangunan yang utuh dan menyeluruh dalam mengatasi permasalahan Islam. Spesialisasi semacam itu adalah sebuah kekeliruan, kita dapat menyebutnya sebagai penyakit : تضخم الفهم, (pembengkakan pemahaman), penyakit ini harus diantisipasi dengan kedalaman pemahaman. Ada individu Muslim yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menekuni satu macam aktifitas intelektual, lalu ditimpa penyakit arogansi intelektual, Ia berpersepsi bahwa segalanya dibangun dan disandarkan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kecenderungan penyakit ini bukan hanya terjadi di zaman sekarang ini , tetapi sejak umat terdahulu. Ketika sebagian ulama memandang bahwa ilmu pengetahun itu ada pada fiqih sementara sebagian lainnya mengatakan ada pada hadits, sebagiannya lagi menyatakan pada tafsir. Lalu muncul arus baru yang berpandangan bahwa solusi menyeluruh atas problematika umat adalah dengan pendidikan akhlak dan pembiasaannya. Sebagian lainnya berpendapat dengan pemikiran politik dan sebagian lagi dengan operasi militer, dan berbagai pandangan lainnya yang merefleksikan pemahaman yang “membengkak” (تضخم الفهم)” (kutipan). 

2. Unsur-unsur Pemahaman
 
Untuk menghindari virus pemahaman dan berbagai penyakitnya, harus ada analisa logis terhadap unsur-unsur pemahaman. Hal ini bertujuan :
a.       Untuk merubah tatanan pengetahuan parsial menjadi pengetahuan yang komprehensif;
b.      Untuk menjadikan pengetahuan yang satu benih menjadi beberapa benih yang tersebar.
Adanya analisis logis terhadap unsur-unsur pemahaman akan membantu proses penyembuhan fenomena penyakit sosial dan akhlak (sebagai akibat ketimpangan pemahaman islam atau parsial), setelah sebelumnya dilakukan penyembuhan penyakit persepsi dan pemikiran, karena penyembuhan sangat tergantung dengan ketepatan diagnosa, sebagimana Muhammad Abduh berkata :
ما أقوى المسلمين أفراداً وأضعفهم جماعة، وما أعظم الإسلام وأضعف المسلمين
“Alangkah kuatnya individu kaum Muslimin, namun alangkah lemahnya jamaah mereka. Alangkah agungnya Islam, namun alangkah lemah umatnya”
Untuk memahami dinamika sejarah islam dan mengetahui rahasia di balik kekuatan ataupun kelemahan umat pada periodenya, maka perlu ada klasifikasi antara periode pemahaman yang salah dari periode pemahaman yang benar. Kita tidak bisa hanya cukup mengatakan bahwasanya era nubuwwah (kenabian) dan khilafah rasyidah adalah era yang penuh dengan kekuatan dan dinamika, dan era setelahnya era yang minus dinamika sampai pada sebuah keadaan yang disebut era kemunduran.
Harus dianalisa kekeliruan pemahaman agar kita dapat melewati era kemunduran
menuju era keemasan lagi. Hanya dengan inilah kita dapat menyambungkan kembali
mata rantai yang terputus antara zaman kita dengan zaman generasi pertama umat ini.

Untuk memahami unsur-unsur pembentuk pemahaman sahih, maka pemahaman dianalogikan (digambarkan) ibarat peta geografis yang harus memenuhi 3 unsur (rukun). Hal ini akan memudahkan kita dalam menganalisa kekeliruan pemahaman yang melanda umat islam (umumnya) saat ini dan da’i (khususnya).

  
UNSUR
ANALOGI (IBARAT PETA GEOGRAFIS)
PEMAHAMAN DALAM ISLAM (yang seharusnya)
Dampak dari pemahaman islam yang salah (parsial)
PERTAMA
Mencakup semua bagian :
·      kota
·      desa
·      jalan
·      gunung
·      sungai
(harus lengkap dan akurat dalam menggambarkan suatu objek yang dipetakan)
Harus mencakup semua bagian dalam islam, seperti harus memahami/mempelajari:
·      ilmu hukum
·      ilmu politik
·      ilmu tazkiyatun nafs
·      ilmu tarbiyah fikriyah
·      ilmu tarbiyah jasadiyah
·      ilmu dalam perbaikan individu maupun kelompok (masyarakat)
·      dan lainnya

(tidak boleh egois dengan bidang keilmuannya, bidang keilmuan lainnya tidak dilirik atau tidak diperhatikan).

Jika pemahaman tentang islam cacat maka, akhlak dan amal juga cacat.
KEDUA
Mencakup segala bagiannya, besar-kecil dan tinggi-rendahnya merupakan skala yang alamiah (Menggunakan skala yang sesuai)

(tidak boleh skala itu diperbesar atau diperkecil semaunya, karena peta tersebut akan menipu orang lain)
Memahami islam harus dengan skala yang benar.
Seperti memahami ayat-ayat allah SWT dan memahami hadist, dan juga kitab-kitab terkait lainnya.

(tidak bisa yang tertera di Al qur’an dan hadist, di”perbesar” atau di”perkecil” semuanya, maksudnya yang menguntungkan bagi individu dan golongannya, dipertahankan dan diperjuangkan, sedangkan yang lainnya diabaikan.)

(Memahami kedudukan Allah SWT, Rasulullah, nabiallah, hukum-hukumnya, aturan-aturannya,  manusia itu sendiri dihadapan Tuhannya, dan memahami kedudukan khalifah dan pemimpin) à harus pada porsinya.
Sebagian umat Islam ada yang terkena semacam pembengkakan pemahaman dalam menyikapi berbagi permasalahan Islam dan problematikanya. Topik mengenai Khilafah dan amal memang penting dalam kontek pemahaman yang sehat, akan tetapi hanya total pada topik itu saja, seolah-olah telah memenuhi seluruh topik keislaman, sementara di sisi lain urusan-urusan keislaman lainnya dianggap sepele dan diabaikan, maka hal itu sama saja dengan meruntuhkan khilafah itu sendiri. Demikian pula melihat tarbiyah ruhiyah dan tazkiyahnya dengan mengenyampingkan aktifitas keislaman lainnya juga hanya akan menghancurkan ruh itu sendiri.
Contohnya :
·       Kaum Yahudi yang tidak mengenal agamanya sendiri, hanya karena mereka manjadi bangsa pilihan Tuhan, menjadikan pemahaman mereka melampaui batas, sampai pada persepsi bahwa ras mereka lebih unggul dari segala ras yang ada, dan menuntut apapun diluar ras mereka untuk tunduk, sampai Allah SWT juga direndahkan oleh mereka.
·       Begitu pula kaum Nasrani yang tidak memperlakukan Nabi Isa kecuali menuhankan dan mengagungkannya sehingga mereka pun menyimpang dan sesat.
·   Sedangkan orang-orang Musyrik mereka mengkultuskan tokoh-tokoh mereka, kemudian beralih kepada menuhankan patung untuk mengenang tokoh-tokoh mereka, akal dan jiwa mereka telah dikuasai oleh kemusyrikannya, begitulah bila kita menelusuri bangsa-bangsa di muka bumi ini, kita akan dapatkan bahwa kerancuan pemahaman mereka telah melampaui kemurnian akidahnya.
·   Kaum Musyabihah maupun Mu’atilah yang dalam memaknai sifat Allah menyamakannya dengan sifat manusia.
·   Kaum Syiah yang menicintai Ali dan ahlul bait yang mengeluarkan mereka dari pemahaman yang lurus.
·   Khawarij yang ingin mengetahui kejelasan posisi muslim yang bermaksiat justru mengafirkan orang yang masih muslim.
(hal ini juga terdapat pada tubuh para da’i saat ini) à (selengkapnya hl, 230)

Seorang da’I yang memiliki pemahaman yang parsial
KETIGA
Segala sesuatu ditempatkan pada posisi yang semestinya.
Pemahaman harus ditempatkan pada posisi yang semestinya, tidak tertukar penempatannya, bahkan masing-masing unsur tampak pada tempatnya yang alami dalam urutan skala prioritas.

(Misal dalam peperangan harus sesuai dengan syarat dan tahapannya)
Bila sebuah tahapan dimulai sebelum waktunya, maka akan merusak tahapan itu sendiri.
(Maka, perlu berhati-hati pada musuh-musuh Islam yang berusaha menggiring ke arah tsb)

 
Berdasarkan 3 unsur-unsur pembentukan pemahaman yang dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah pemahaman harus memenuhi bagian-bagiannya, memiliki skala yang benar, dan posisi serta prioritas yang semestinya. Lihatlah pola kemeja di bawah ini, apa yang terjadi jika bagian-bagian dari sebuah kemeja tidak terpenuhi, skala yang tidak sama atau tidak sesuai, dan posisi yang tidak semestinya. Kemeja tersebut tidak akan terlihat seperti layaknya sebuah kemeja, bukan? 



Jika Subyek dakwah tidak meninjau unsur-unsur pembentuk pemahamannya dan obyek dakwah yang “Nerimo” (juga tidak mau mengasah pemahamannya). Maka, bayangkan BAGAIMANA DENGAN “TAMPILAN” UMAT ISLAM SAAT INI, NANTI, dan ESOK?

3. Meninjau Ulang Pemahaman



Syarat kokohnya sebuah manhaj dan selamatnya cara berpikir adalah dengan menjaga dan
menghadirkan konsep dan teori dalam benak di setiap periode gerakan dakwah serta menjaga
ghirah yang stabil (tidak berlebihan dalam menangani sesuatu dan acuh bagian lain).       Jika
syarat tersebut tidak terpenuhi maka gerakan dakwah akan mudah didatangi penyusup.
<3 span="">

---
Sekelumit tentang kualifikasi Da’i


Menurut Jum'ah Amin Abdul Aziz, antara dakwah dan da’i-nya tidak bisa dipisahkan, karena seorang muslim yang memahami dakwahnya dengan pemahaman yang benar, akan tetapi kurang tepat dalam menyampaikan dakwahnya kepada manusia sama bahayanya dengan seorang muslim yang tidak memahami Islam dengan pemahaman yang benar, akan tetapi ia pandai berargumen, pandai bicara, dan baik dalam menyampaikan.  Kelompok yang pertama tidak pandai menyampaikan sekalipun dia paham, sementara yang kedua baik dalam menyampaikan meski dengan segala kebodohannya. Oleh karena itu, Islam hanya akan menjadi dakwah yang benar apabila dibawakan seorang da’i yang wa’in (paham) dan berakhlaq.
Berpijak pada hal tersebut, maka kedudukan da’i yang begitu penting dalam aktifitas dakwah, harus dilengkapi dengan beberapa kualifikasi. Dari sini maka da’i dituntut memiliki 3 (tiga) syarat yaitu:
1.  Syarat yang Menyangkut Jasmaniyah.
Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terletak pada badan yang sehat (Al-aqlu as-saliymu fii al-jismi as-saliymu). Oleh karena itu seorang da’i memerlukan persyaratan jasmani.
Sebenarnya aktivitas dakwah dapat juga dilakukan oleh orang yang tidak sehat jasmaninya, akan tetapi apabila seorang da’i yang profesional yang berdakwah dengan sasaran yang berjumlah banyak, maka kesehatan jasmani masih juga diharuskan. Sebab kondisi badan yang tidak memungkinkan sedikit banyak akan mengurangi kegairahan dan ketahanannya untuk berdakwah.
Dakwah yang dilakukan oleh orang yang dalam keadaan sakit, bukannya membuat da’i tidak bergairah atau kurang spirit, tapi dapat mengganggu konsentrasi pikiran da’i itu sendiri, di samping itu obyek dakwah merasa tidak mendapatkan layanan memuaskan, terlebih apabila penyakitnya yang dapat mendatangkan bahaya/menular kepada obyek dakwah.
Maka, seorang da’i mutlak diperlukan untuk menjaga kesehatannya, agar dalam melaksanakan dakwahnya dapat mencapai pada tujuan yang diinginkan.
2.     Syarat Ilmu Pengetahuan
Syarat ilmu pengetahuan yang harus dimiliki da’i yaitu ia harus memahami secara mendalam ilmu, makna-makna serta hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'ān dan al-Sunnah. Bentuk pemahaman itu dapat dirinci ke dalam tiga hal :
Pemahaman terhadap aqidah Islam dengan baik dan benar serta berpegang teguh pada dali-dalil al-Qur'ān dan al-SunnahPemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya di antara manusia.
                                           Pemahaman terhadap ketergantungan hidup untuk akhirat dengan tidak meninggalkan urusan dunia. Sejalan dengan uraian di atas, menurut Hamzah Ya'kub setiap da’i harus:
·         Mengetahui tentang al-Qur'ān dan Sunnah Rasul sebagai pokok agama Islam
·         Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur'ān dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadith, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain.
·         Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti: teknik dakwah, ilmu dakwah, ilmu jiwa (psychology), sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
·         Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang diridai oleh Allah.   Demikian juga ilmu retorika dan kepandaian berbicara serta mengarang.
Selain pengetahuan di atas, da’i harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang:
·         Obyek dakwah, yaitu pemahaman bahwa orang yang dihadapi memiliki keaneka ragaman dalam segala seginya.
·         Dasar dakwah, yaitu pemahaman terhadap latar belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah.
·         Tujuan dakwah, yaitu pemahaman terhadap apa yang akan dicapai di dalam usaha dakwah.
·         Materi dakwah, yaitu pemahaman terhadap pesan/informasi atau ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara benar atau baik.
·         Metode Dakwah, yaitu pemahaman terhadap cara-cara yang akan dipakai dalam melaksanakan dakwah.
·         Alat dakwah, yaitu pemahaman terhadap alat-alat yang perlu digunakan dalam berdakwah.
 

(Wallahualam)