30 Okt 2012

Aku Datang

       
“Lihatlah, Ku kan datang membawa sebingkai asa yang telah lama ku simpan”. Dialog Dito pada hatinya. Ganasnya sinar mentari siang itu tidak sedikitpun menyerap energi yang ada pada azamnya. Dito telah benar-benar yakin pada keputusannya utuk menyambangi kediaman Heny, sosok wanita yang selama ini ia cari-cari.
“Semoga inilah saat yang tepat. Aku tak akan menunda dan memperlambat langkahku lagi”. Bisiknya pada angin yang sesekali menyelinap diantara hawa hangat siang itu. Sesekali ia rapikan rambut yang telah bercampur dengan keringat dan debu yang menyapa setiap langkahnya. Seutas surat yang sedari tadi terselip di jarinya sesekali ia pandang dan senyumpun mengembang di wajahnya. Berharap surat itu akan sampai pada sang pujaan hatinya, yang selama ini menempati hati dan pikirannya, mengunjungi malam-malamnya disaat mata terpejam dan menyelinap dalam pandangan disaat sepi.
“Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah...” Dito mulai cemas dan gugup dengan langkahnya. Ia mulai kembali ragu dengan tekad yang bulat. Nurani dan perasaannya kembali bertengkar.
“Rabb, maafkan hamba, sungguh adalah perasaan yang ianya selalu ingin ku jaga, Rabb mudahkanlah jika ini pintu menuju mahabbah padaMu, namun jika langkah ini bukanlah cara yang kau Ridhoi, maka tuntunlah hatiku dalam rohimMu”.
Satu kilo lagi, dihadapannya telah tampak atap rumah Heny. Sepeda motor yang ia gunakan, rela ia tinggalkan dibengkel, demi mewujudkan azam yang telah menjadi luapan do'anya di sepertiga malam.  
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”  
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”
“...” tidak ada jawaban.
Ketukan denyut jantung Dito semakin tak teratur, detakannya bertambah cepat. Sadar bahwa salamnya tidak ada yang menjawab.
“Innalillah, sudah dua kali, namun belum ada jawaban, bagaimana ini ya Rabb...?” Pekiknya dalam hati.
“Bismillah...”ucapnya pelan.
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”
Ia tunggu dua menit namun hasilnya tetap nihil.
“Rabb..., sudah tiga kali. Lebih baik aku mundur. Rabb..., jika ini sudah jalanMu, maka berilah aku ketabahan”. Nyaris bulir hangat mendarat dipipinya. Ditopun dengan tubuh lemas balik kanan dengan tatapan berat kebawah.  
Kleeeeek.... Bunyi derik pintu mengehentikan langkah Dito. Jantungnya semakin memompa begitu cepat. Dito berdiri mematung, tanpa ada sedikitpun energi yang membuatnya berbalik ke arah pintu. “Maaf, siapa ya?”
“Suara itu” Bisik Dito.
“A...Ak...Akk...Aku...” Perlahan ia hadapkan wajahnya ke arah asal suara.
“Dito..., Subhanallah..., Dito kan?” Tanya sang pemilik rumah memastikan.
Dito masih terpaku di tempat ia berdiri. Tak sedikitpun gerakan yang ia buat. Diantara perasaan senang dan gugup yang melanda dirinya. Keberaniannya untuk bertemu dengan Sang pujaan hatinya mendadak melemah.
“Yuk masuk” ujar Heny yang tengah berdiri di mulut pintu dengan kerudung biru mudanya.
Dito terbangun dari diamnya. Dengan senyum dikulum, Ditopun memberanikan diri untuk melangkah menuju pintu rumah yang selama ini ia nantikan.
Melihat Dito yang kikuk. Henypun mengerti.
“Ada Mama kok dirumah Dit..” ujar Heny meyakinkan Dito.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam…, silahkan duduk Dit, aku kebelakang dulu ya”.
“Eh, nggak usah repot-repot Hen…”
Heny hanya tersenyum pada Dito seraya melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Sepuluh menit menunggu, tidak jua menstabilkan detak jantung Dito.
“Apa kabar kamu Dit?”
“Hmmm, Alhamdulillah baik Hen…, ku lihat kau sudah berubah sekarang”.
“Berubah? Berubah apa Dit? Aku masih seperti Heny yang dulu Dit, Heny yang masih suka bawel”. Heny tersenyum simpul.
“Hmmm, kamu sudah pakai kerudung sekarang”. Balas Dito dengan senyum dikulum.
“Iya Dit, Alhamdulillah…”
Perbincangan hangatpun bergulir diantara mereka, namun sesaat Dito terdiam, memutar otaknya merangkai kata untuk memeunuhi maksud kedatangannya kerumah Heny.
“Kok diem Dit, silahkan diminum dulu dong”
“Eh..e..iya Hen…” seraya meraih daun telinga cangkir yang berisi sirup leci dingin.
“Oya, Ibumu mana?”
“Ada tu, sedang nonton TV di ruang keluarga”.
“ooo…”
“Oya gimana kuliahmu Dit? Udah TA?”
“Alhmdulillah aku udah selesai Hen dan sekarang aku mengajar di pondok pesantren”
“Wah…, cepat juga ya. Aku insyallah sebentar lagi sidang. Dan liburan kali ini kumanfaatkan untuk menyelesaikan tulisanku. Doain yah..” Ujar Heny bersemangat.
“Iya, Insyaallah…” Jawab Dito seadanya.
“Oya Hen, sebenarnya aku kesini bermaksud untuk…”
“Iya, kenapa Dit? Oya, kamu tahu darimana aku pulang?”
“Aku, aku tahu dari satatus FB kamu Hen…” seraya tersenyum pada Heny.
“ooo” Mulut Heny membulat.
“Terus, tadi kamu mau bilang apa Dit? Maaf, terputus...”
“Aku mau…, mau bilang bahwa aku…”
Belum sempat Dito melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba suara dari ruang keluarga muncul, memanggil Heny.
“Heny…, ini Pram nelpon nak…, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikannya terkait hari tunangan kalian”.
“Iya Bu…” seraya beranjak meninggalkan Dito.
Dito yang sedang duduk memegang cangkir minumannya, merasa goyang dan hampir saja cangkir yang dipegangnya tersungkur kelantai karena mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ibu Heny.
Namun, dengan kuat Dito menahan luapan hangat yang merambat dari hati keubun-unbunnya. Sehingga menghadirkan warna merah dimatanya. Dito tertunduk memandangi amplop biru yang ada ditangannya. Dengan mata berkaca Dito menatap atap rumah Heny. Menguatkan hatinya, agar bulir hangat itu tidak segera mengalir mengikuti arus perasaannya.
“Maaf ya Dit, aku agak lama” ujar Heny dengan wajah memerah dan sumingrah.
“Nggak apa Hen…” Ujar Dito datar.
“Oya, kalau gitu aku pamit dulu ya Hen…”
“Eh, kok buru-buru…, kamu tadi belum sempat melanjutkan kata-katamu. Kamu mau ngomong apa si tadi? Aku jadi penasaran. Hmmm, jangan-jangan kamu mau ngasih aku undangan pernikahanmu ya? Hayo ngaku???” Ujar Heny dengan mimik wajah menyelidik seraya melirik ke arah tangan Dito yang tengah menggenggam kertas berwarna biru.
Dengan senyum yang datar. Dito tidak menggubris pertanyaan Heny.
“Oya, Dit, minggu depan ajak teman-teman kita ke rumahku ya, nanti aku juga bakal buat undangan deh, di FB”.
“Wah, emang ada acara apa Hen? Bukankah miladmu masih lama?” tanya Dito meraba dugaannya.
“Hmmm, kasih tahu nggak ya??? Hehehe…gini loh Dit, insyaallah minggu depan adalah hari pertunanganku dengan Pram Wijaya. So,  kamu dan teman-teman wajib datang ya”.
“Pram Wijaya?” Ujar Dito sedikit terkejut.
“Iya. Kok gitu ekspresinya? Memangnya kamu mengenal nama itu Dit?”
“Hmmm, nggak…nggak kok Hen…, aku ngerasa nama itu sudah familiar aja ditelingaku. Oya, kamu kenal dimana Hen?
“Aku kenal di FB sih Dit, kebetulan dia bekerja di sebuah perusahaan di dekat kampusku”.
“Ooo, hmmm, kalo gitu aku pamit dulu ya Hen, udah mau masuk waktu dzuhur”.
“Jangan lupa ya Dit…,minggu depan” dengan senyum khas dan penuh harapan pada Dito.
“Barakallah ya Hen…”
“Makasih ya Dit, karena kamu udah datang dan bawa teman-teman kita kesini”
“Iya…, sama-sama”
“Oya kenalkan, ini Pram Wijaya. Pram ini Dito temanku sejak SMP. Tapi kami berpisah ketika SMA hingga kami kuliah”
“Pram…” ujar Pram datar.
“Dito…” seraya tersenyum berat pada Pram.
“Oya Pram, aku tinggal sebentar, kamu sama Dito dulu ya…” Ujar Heny seraya menatap lurus kearah sahabat lama yang ingin dihampirinya.
“Oke” Jawab pram sekedarnya.
Dito semakin yakin dengan dugaanya. Bahwa Pria yang sedang berdiri dihadapannya adalah pria yang telah membuat adik perempuannya menjadi sakit satu bulan lamanya. Pria yang dikenal oleh adiknya di media social FB. Pria yang selama ini menaburi janji-janji penuh harapan pada adiknya dan tanpa alasannya yang jelas meninggalkan adiknya.
Dito memancing Pram untuk bicara dengan obrolan hangat. Sedikit demi sedikit apa yang disampaikan Pram tentang dirinya tak berbeda jauh dengan apa yang di kisahkan adiknya tentang Pram.
“Kak Dito, kok Dinda ditinggal sih”
“Dinda, kamu kesini juga?” tanya Dito sedikit terkejut.
“Iya kak, kata bunda kakak ke acara tunangan kak Heny, terus Dinda susul aja kakak” dengan senyum manja seorang adik pada kakaknya.
“Dinda…?”
Suara yang pernah menghiasi pendengarannya sebulan yang lalu. Kini ia dengar kembali. Dengan cepat Dinda menoleh kearah suara itu.
“Kamu?” Dinda berjalan mundur kebelakang, seakan ingin segera berlari manjauhi langkah Pram yang berusaha mendakatinya.
“Kak, Dinda mau pulang” seraya menarik lengan Dito.
“Ternyata ini jawabannya kak, kak Heny teman kakaklah yang telah dijodohkan oleh orangtua Pram untuknya”.
“Dinda mau pulang kak…”
“Dinda…, Dinda…, Dinda…bangun dek…”
“Kak.., Dinda sekarang dimana?”
“Kamu sudah siuman dek? Kamu sekarang dirumah”
“Kak…, Kak Heny dan Pram…”
“Sudah…”
“Sudah bertunangankan kak???” Ujar Dinda seraya menyeka bulir hangat yang jatuh dipipinya.
“Sudah bubar dek. Maafkan kakak, kakak terlalu emosi tadi, satu pukulan kakak lepaskan ke wajahnya”
“Iya, Dinda…, aku sudah memutuskannya.” Heny yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar Dinda.
“Kak Heny..?” Seraya mengernyitkan keningnya.
“Kakak sudah dengar semua cerita dari kakakmu. Pram itu tenyata pembohong besar Din, dia bilang ke kamu kalau dia dijodohin sama kakak kan? Itu bohong Din dan kakakmu terpaksa membuat kepala pria beranak satu itu oyong saat kamu pingsan. Karena seorang wanita datang mengaku istrinya dengan membawa buku nikah mereka. Kakak ditipu olehnya Din, sama sepertimu…” seraya memeluk Dinda.
Dito yang melihat keakraban adik dan wanita yang selama ini menjadi penghias harapannya merasa terharu.
“Oya kak, apakah kak Dito jadi memberikan surat ke kakak minggu lalu” tiba-tiba kalimat Dinda menyentak Dito yang semula terharu menjadi mendadak gugup.
“Nggak, surat apa Din? Kakakmu hanya silaturahim ketempat kakak”
“Oh ya? Sebenarnya kak Dito itu ingin memberikan surat…” seraya menatap kakaknya yang terlihat gugup.
Dito meletakkan telunjuk dihadapan bibirnya. Memberi isyarat pada Dinda untuk tidak meneruskan kalimarnya.
Namun, tanpa sepengetahuan Dito, surat bersampul biru itu telah berada di atas meja Dinda.
            AllahuAkbar…” ucap Dito dalam hati yang semakin gugup.
            “Nggak apa kak…biarlah kak Heny tahu yang sebenarnya…”
            Dengan perlahan dan penuh penasaran Heny membuka surat bersampul biru itu. Ada bulir hangat yang jatuh ketika Heny membacanya dan ada senyum yang sesekali menghiasi wajah Heny.
            Dito yang sedari tadi berdiri di samping Heny hanya bisa tertunduk. Menanti apa kalimat yang akan diuntai dari bibir mungil Heny. Dengan memberanikan diri Dito mengangkat kepalanya dengan degupan jantung yang kian tak terkendalikan.
            Senyum itu…, bola matanya menyiratkan bahwa dia juga…” Ujar Dito dalam hati.
            Tak lama Heny menatap Dito, iapun mengangguk pelan. Memberi jawaban dari segala asa yang selama ini dipendam oleh Dito yaitu menjadikan Heny halal untuknya.


0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya...silahkan tinggalkan sarannya...^_^