Ustadz Musyaffa Ad Dariny, حفظه الله تعال
Aku mulai lupa dengan bacaan dzikir pagi dan sore, karena telah lama aku tidak membacanya.
Shalat sunat “rowatib” (yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat wajib) telah kuabaikan, tidak tersisa kecuali shalat sunat fajar, itu pun tidak setiap hari.
Tidak ada lagi bacaan Alquran secara rutin, tidak ada lagi malam yang dihidupkan dengan shalat, dan tidak ada lagi siang yang dihiasi dengan puasa.
Sedekah, seringkali dihentikan oleh kebakhilan, keraguan, dan kecurigaan… berdalih denga sikap hati-hati, harus ada cadangan uang, dan puluhan bisikan setan lainnya.
Jika pun sedekah itu keluar dari saku, nominalnya sedikit dan setelah ditunda-tunda.
Satu dua hari, atau bahkan sepekan berlalu, tanpa ada kegiatan membaca kitab yang sungguh-sungguh.
Seringkali sebuah majlis berakhir dan orang-orangnya bubar, mereka telah makan sepenuh perut dan tertawa sepenuh mulut, bahkan mungkin mereka telah makan daging bangkai si A dan si B, serta saling tukar info tentang harga barang dan mobil… Tapi, mereka tidak saling mengingatkan tentang satu ayat, atau hadits, atau faedah ilmu, atau bahkan doa kaffarotul majlis.
Inilah fenomena zuhud dalam sunnah, berluas-luasan dalam perkara mubah, dan menyepelekan hal yang diharamkan.
Sholat dhuha dan witir sekali dalam sepekan.
Berangkat awal waktu ke jum’atan dan sholat jama’ah; jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah.
Berlebihan dalam makanan, pakaian, dan kendaraan… tanpa rasa syukur.
Musik selingan dalam tayangan berita dan tayangan dokumenter menjadi hal yang biasa.
Orang seperti ini apa mungkin memberikan pengaruh di masyarakatnya, sedang pada diri dan keluarganya saja tidak.
Orang seperti ini, apa pantas disebut pembawa perubahan, ataukah yg terbawa arus lingkungan?
Pantasnya, dia disebut penelur prestasi atau penikmat produksi?
Maka, hendaknya kita koreksi diri masing-masing… semoga Allah mengampuni kita selama ini.
Sebagian ulama mengatakan:
“Tidaklah kepercayaan masyarakat terhadap sebagian penuntut ilmu menjadi goncang, melainkan saat melihat mereka di shaff terakhir melengkapi rekaat shalatnya yang tertinggal”.
Ternyata ujian paling berat itu kemudahan yg melenakan
1. Kehamilan dan persalinan yg mudah, lancar, normal cenderung tanpa kesulitan.Sering membuat mencemooh yg susah hamilnya, penuh resiko, atau bermasalah dgn kata2 mandul, manja, dll.
2. Anak2 yg cenderung sehat, serba normal, penuh aktivitas, mudah di urus, penuh kasih sayang. Sering menimbulkan rasa riya' merasa diri ibu sempurna hingga merendahkan ibu yg lain dan enggan belajar.
3. Suami yg setia, ndak neko2, romantis dan begitu perhatian, membuat terlena untuk memperbaiki diri dan akhlak agar terus menjadi bidadari surga dan bukan pencela pasangan lain yg bermasalah.
4. keuangan yg stabil, bahkan berlebihan, kadangkala membuat terlupa menengok ke bawah, lupa rasanya bersyukur, mudah menghakimi yg lain pemalas dan tak mau kerja keras layaknya dirinya.
5. Orangtua dan mertua yg pengasih, mudah beradaptasi, membuat kita merasa sempurna sebagai anak, sering membuat kita mudah menghakimi mereka yg bermasalah dgn orangtua dan mertua sebagai anak durhaka, tak tau terima kasih kasih.
6. ilmu yg tinggi, pengetahuan yg luas tanpa sadar membuat kita merasa lebih mumpuni, malas mengejar ilmu2 yg lain, akhirnya merendahkan dan menyepelekan mereka yg kita anggap tak seluas kita ilmu dan pengetahuannya.
7. Kemudahan dalam ibadah, sholat yg kita anggap tak pernah lalai, puasa yg tak putus, zakat milyaran rupiah, shodaqah tak terhitung, haji dan umroh berkali2, membuat kita merasa paling alim dan takwa, tanpa sadar tidak lagi mau belajar dgn alim ulama, enggan bergaul dgn mereka yg kita anggap pendosa.
Kemudahan itu ujian yg berat, melenakan sering mendatangkan penyakit hati tanpa disadari.
Berhati-hatilah.
والله أعلم 😇
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya...silahkan tinggalkan sarannya...^_^