“Lihatlah,
Ku kan datang membawa sebingkai asa yang telah lama ku simpan”. Dialog Dito
pada hatinya. Ganasnya sinar mentari siang itu tidak sedikitpun menyerap energi
yang ada pada azamnya. Dito telah benar-benar yakin pada keputusannya utuk
menyambangi kediaman Heny, sosok wanita yang selama ini ia cari-cari.
“Semoga inilah saat yang tepat. Aku tak
akan menunda dan memperlambat langkahku lagi”. Bisiknya pada angin yang
sesekali menyelinap diantara hawa hangat siang itu. Sesekali ia rapikan rambut
yang telah bercampur dengan keringat dan debu yang menyapa setiap langkahnya.
Seutas surat yang sedari tadi terselip di jarinya sesekali ia pandang dan
senyumpun mengembang di wajahnya. Berharap surat itu akan sampai pada sang
pujaan hatinya, yang selama ini menempati hati dan pikirannya, mengunjungi
malam-malamnya disaat mata terpejam dan menyelinap dalam pandangan disaat sepi.
“Astaghfirullah, Astaghfirullah,
Astaghfirullah...” Dito mulai cemas dan gugup dengan langkahnya. Ia mulai
kembali ragu dengan tekad yang bulat. Nurani dan perasaannya kembali
bertengkar.
“Rabb,
maafkan hamba, sungguh adalah perasaan yang ianya selalu ingin ku jaga, Rabb
mudahkanlah jika ini pintu menuju mahabbah padaMu, namun jika langkah ini
bukanlah cara yang kau Ridhoi, maka tuntunlah hatiku dalam rohimMu”.
Satu kilo lagi, dihadapannya telah tampak
atap rumah Heny. Sepeda motor yang ia gunakan, rela ia tinggalkan dibengkel,
demi mewujudkan azam yang telah menjadi luapan do'anya di sepertiga malam.
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”
“...” tidak ada jawaban.
Ketukan denyut jantung Dito semakin tak
teratur, detakannya bertambah cepat. Sadar bahwa salamnya tidak ada yang
menjawab.
“Innalillah,
sudah dua kali, namun belum ada jawaban, bagaimana ini ya Rabb...?” Pekiknya
dalam hati.
“Bismillah...”ucapnya pelan.
Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”
Ia tunggu dua menit namun hasilnya tetap
nihil.
“Rabb...,
sudah tiga kali. Lebih baik aku mundur. Rabb..., jika ini sudah jalanMu, maka
berilah aku ketabahan”. Nyaris bulir hangat mendarat dipipinya. Ditopun
dengan tubuh lemas balik kanan dengan tatapan berat kebawah.
Kleeeeek.... Bunyi derik pintu
mengehentikan langkah Dito. Jantungnya semakin memompa begitu cepat. Dito
berdiri mematung, tanpa ada sedikitpun energi yang membuatnya berbalik ke arah
pintu. “Maaf, siapa ya?”
“Suara itu” Bisik Dito.
“A...Ak...Akk...Aku...” Perlahan ia
hadapkan wajahnya ke arah asal suara.
“Dito..., Subhanallah..., Dito kan?” Tanya
sang pemilik rumah memastikan.
Dito masih terpaku di tempat ia berdiri.
Tak sedikitpun gerakan yang ia buat. Diantara perasaan senang dan gugup yang
melanda dirinya. Keberaniannya untuk bertemu dengan Sang pujaan hatinya
mendadak melemah.
“Yuk masuk” ujar Heny yang tengah berdiri
di mulut pintu dengan kerudung biru mudanya.
Dito terbangun dari diamnya. Dengan senyum
dikulum, Ditopun memberanikan diri untuk melangkah menuju pintu rumah yang
selama ini ia nantikan.
Melihat Dito yang kikuk. Henypun mengerti.
“Ada Mama kok dirumah Dit..” ujar Heny
meyakinkan Dito.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam…, silahkan duduk Dit,
aku kebelakang dulu ya”.
“Eh, nggak usah repot-repot Hen…”
Heny hanya tersenyum pada Dito seraya
melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Sepuluh menit menunggu, tidak jua menstabilkan
detak jantung Dito.
“Apa kabar kamu Dit?”
“Hmmm, Alhamdulillah baik Hen…, ku lihat
kau sudah berubah sekarang”.
“Berubah? Berubah apa Dit? Aku masih
seperti Heny yang dulu Dit, Heny yang masih suka bawel”. Heny tersenyum simpul.
“Hmmm, kamu sudah pakai kerudung sekarang”.
Balas Dito dengan senyum dikulum.
“Iya Dit, Alhamdulillah…”
Perbincangan hangatpun bergulir diantara
mereka, namun sesaat Dito terdiam, memutar otaknya merangkai kata untuk
memeunuhi maksud kedatangannya kerumah Heny.
“Kok diem Dit, silahkan diminum dulu dong”
“Eh..e..iya Hen…” seraya meraih daun
telinga cangkir yang berisi sirup leci dingin.
“Oya, Ibumu mana?”
“Ada tu, sedang nonton TV di ruang
keluarga”.
“ooo…”
“Oya gimana kuliahmu Dit? Udah TA?”
“Alhmdulillah aku udah selesai Hen dan
sekarang aku mengajar di pondok pesantren”
“Wah…, cepat juga ya. Aku insyallah
sebentar lagi sidang. Dan liburan kali ini kumanfaatkan untuk menyelesaikan
tulisanku. Doain yah..” Ujar Heny bersemangat.
“Iya, Insyaallah…”
Jawab Dito seadanya.
“Oya Hen, sebenarnya aku kesini bermaksud
untuk…”
“Iya, kenapa Dit? Oya, kamu tahu darimana
aku pulang?”
“Aku, aku tahu dari satatus FB kamu Hen…”
seraya tersenyum pada Heny.
“ooo” Mulut Heny membulat.
“Terus, tadi kamu mau bilang apa Dit?
Maaf, terputus...”
“Aku mau…, mau bilang bahwa aku…”
Belum sempat Dito melanjutkan kalimatnya.
Tiba-tiba suara dari ruang keluarga muncul, memanggil Heny.
“Heny…, ini Pram nelpon nak…, mungkin ada
hal penting yang ingin disampaikannya terkait hari tunangan kalian”.
“Iya Bu…” seraya beranjak meninggalkan
Dito.
Dito yang sedang duduk memegang cangkir
minumannya, merasa goyang dan hampir saja cangkir yang dipegangnya tersungkur
kelantai karena mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ibu Heny.
Namun, dengan kuat Dito menahan luapan
hangat yang merambat dari hati keubun-unbunnya. Sehingga menghadirkan warna
merah dimatanya. Dito tertunduk memandangi amplop biru yang ada ditangannya.
Dengan mata berkaca Dito menatap atap rumah Heny. Menguatkan hatinya, agar
bulir hangat itu tidak segera mengalir mengikuti arus perasaannya.
“Maaf ya Dit, aku agak lama” ujar Heny
dengan wajah memerah dan sumingrah.
“Nggak apa Hen…” Ujar Dito datar.
“Oya, kalau gitu aku pamit dulu ya Hen…”
“Eh, kok buru-buru…, kamu tadi belum
sempat melanjutkan kata-katamu. Kamu mau ngomong apa si tadi? Aku jadi
penasaran. Hmmm, jangan-jangan kamu mau ngasih aku undangan pernikahanmu ya?
Hayo ngaku???” Ujar Heny dengan mimik wajah menyelidik seraya melirik ke arah
tangan Dito yang tengah menggenggam kertas berwarna biru.
Dengan senyum yang datar. Dito tidak
menggubris pertanyaan Heny.
“Oya, Dit, minggu depan ajak teman-teman
kita ke rumahku ya, nanti aku juga bakal buat undangan deh, di FB”.
“Wah, emang ada acara apa Hen? Bukankah
miladmu masih lama?” tanya Dito meraba dugaannya.
“Hmmm, kasih tahu nggak ya??? Hehehe…gini
loh Dit, insyaallah minggu depan
adalah hari pertunanganku dengan Pram Wijaya. So, kamu dan teman-teman
wajib datang ya”.
“Pram Wijaya?” Ujar Dito sedikit terkejut.
“Iya. Kok gitu ekspresinya? Memangnya kamu
mengenal nama itu Dit?”
“Hmmm, nggak…nggak kok Hen…, aku ngerasa
nama itu sudah familiar aja
ditelingaku. Oya, kamu kenal dimana Hen?
“Aku kenal di FB sih Dit, kebetulan dia bekerja di sebuah perusahaan di dekat
kampusku”.
“Ooo, hmmm, kalo gitu aku pamit dulu ya
Hen, udah mau masuk waktu dzuhur”.
“Jangan lupa ya Dit…,minggu depan” dengan
senyum khas dan penuh harapan pada Dito.
…
“Barakallah ya Hen…”
“Makasih ya Dit, karena kamu udah datang
dan bawa teman-teman kita kesini”
“Iya…, sama-sama”
“Oya kenalkan, ini Pram Wijaya. Pram ini
Dito temanku sejak SMP. Tapi kami berpisah ketika SMA hingga kami kuliah”
“Pram…” ujar Pram datar.
“Dito…” seraya tersenyum berat pada Pram.
“Oya Pram, aku tinggal sebentar, kamu sama
Dito dulu ya…” Ujar Heny seraya menatap lurus kearah sahabat lama yang ingin
dihampirinya.
“Oke” Jawab pram sekedarnya.
Dito semakin yakin dengan dugaanya. Bahwa
Pria yang sedang berdiri dihadapannya adalah pria yang telah membuat adik
perempuannya menjadi sakit satu bulan lamanya. Pria yang dikenal oleh adiknya
di media social FB. Pria yang selama ini menaburi janji-janji penuh harapan
pada adiknya dan tanpa alasannya yang jelas meninggalkan adiknya.
Dito memancing Pram untuk bicara dengan
obrolan hangat. Sedikit demi sedikit apa yang disampaikan Pram tentang dirinya
tak berbeda jauh dengan apa yang di kisahkan adiknya tentang Pram.
…
“Kak Dito, kok Dinda ditinggal sih”
“Dinda, kamu kesini juga?” tanya Dito
sedikit terkejut.
“Iya kak, kata bunda kakak ke acara
tunangan kak Heny, terus Dinda susul aja kakak” dengan senyum manja seorang
adik pada kakaknya.
“Dinda…?”
Suara yang pernah menghiasi pendengarannya
sebulan yang lalu. Kini ia dengar kembali. Dengan cepat Dinda menoleh kearah
suara itu.
“Kamu?” Dinda berjalan mundur kebelakang,
seakan ingin segera berlari manjauhi langkah Pram yang berusaha mendakatinya.
“Kak, Dinda mau pulang” seraya menarik
lengan Dito.
“Ternyata ini jawabannya kak, kak Heny
teman kakaklah yang telah dijodohkan oleh orangtua Pram untuknya”.
“Dinda mau pulang kak…”
…
“Dinda…, Dinda…, Dinda…bangun dek…”
“Kak.., Dinda sekarang dimana?”
“Kamu sudah siuman dek? Kamu sekarang
dirumah”
“Kak…, Kak Heny dan Pram…”
“Sudah…”
“Sudah bertunangankan kak???” Ujar Dinda
seraya menyeka bulir hangat yang jatuh dipipinya.
“Sudah bubar dek. Maafkan kakak, kakak
terlalu emosi tadi, satu pukulan kakak lepaskan ke wajahnya”
“Iya, Dinda…, aku sudah memutuskannya.”
Heny yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar Dinda.
“Kak Heny..?” Seraya mengernyitkan
keningnya.
“Kakak sudah dengar semua cerita dari
kakakmu. Pram itu tenyata pembohong besar Din, dia bilang ke kamu kalau dia
dijodohin sama kakak kan? Itu bohong Din dan kakakmu terpaksa membuat kepala
pria beranak satu itu oyong saat kamu pingsan. Karena seorang wanita datang
mengaku istrinya dengan membawa buku nikah mereka. Kakak ditipu olehnya Din, sama
sepertimu…” seraya memeluk Dinda.
Dito yang melihat keakraban adik dan
wanita yang selama ini menjadi penghias harapannya merasa terharu.
“Oya kak, apakah kak Dito jadi memberikan
surat ke kakak minggu lalu” tiba-tiba kalimat Dinda menyentak Dito yang semula
terharu menjadi mendadak gugup.
“Nggak, surat apa Din? Kakakmu hanya
silaturahim ketempat kakak”
“Oh ya? Sebenarnya kak Dito itu ingin
memberikan surat…” seraya menatap kakaknya yang terlihat gugup.
Dito meletakkan telunjuk dihadapan
bibirnya. Memberi isyarat pada Dinda untuk tidak meneruskan kalimarnya.
Namun, tanpa sepengetahuan Dito, surat
bersampul biru itu telah berada di atas meja Dinda.
“AllahuAkbar…” ucap Dito dalam hati yang
semakin gugup.
“Nggak apa
kak…biarlah kak Heny tahu yang sebenarnya…”
Dengan
perlahan dan penuh penasaran Heny membuka surat bersampul biru itu. Ada bulir
hangat yang jatuh ketika Heny membacanya dan ada senyum yang sesekali menghiasi
wajah Heny.
Dito yang
sedari tadi berdiri di samping Heny hanya bisa tertunduk. Menanti apa kalimat
yang akan diuntai dari bibir mungil Heny. Dengan memberanikan diri Dito
mengangkat kepalanya dengan degupan jantung yang kian tak terkendalikan.
“Senyum itu…, bola matanya menyiratkan bahwa
dia juga…” Ujar Dito dalam hati.
Tak lama Heny menatap Dito, iapun mengangguk pelan.
Memberi jawaban dari segala asa yang selama ini dipendam oleh Dito yaitu
menjadikan Heny halal untuknya.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya...silahkan tinggalkan sarannya...^_^