-Hilman Rosyad-
Setiap Kader dakwah perlu Baca ini tuk introspeksi...
"Ketika Dakwah Bermuhasabah"
...
Pagi itu, tak dinyana murabbi datang ke rumah. Waktunya sangat sempit karena saya harus mengisi ceramah
di pengajian kaum ibu dalam acara lebaran anak yatim di mushalla belakang rumah. Kebetulan adik-adik rohis
yang akan membawakan marawis pada pengajian tersebut sedang berkumpul di beranda rumah.
Mereka adalah binaannya binaan saya. Melihat itu, murabbi bercerita betapa dakwah membutuhkan junud
yang mampu membina. Beliau yang merupakan kader dakwah senior di daerah pinggiran Jakarta, nampak
merenung.
Obrolan pagi itu jadi semacam muhasabah. Betapa, katanya, demikian banyak kader dakwah tidak mampu
membina, padahal masyarakat yang membutuhkan sentuhan dakwah demikian banyak.
Lebih banyak ikhwah kita yang “menganggur”, tidak punya binaan. Terkadang, sudah dilimpahi sejumlah binaan
pun, mereka tak mampu merawatnya. Binaan lepas satu per satu, kian jauh dan makin menjauh.
Apa yang murabbi sampaikan di depan rumah pagi itu, adalah benar adanya. Tidak satu dua saya temui,
ikhwah yang dahulunya kader dakwah nan militan, kini asyik bercelana pendek di depan tokonya, bahkan
sembari memegang sebatang rokok.
Sebahagian lain memang masih memilih perahu dakwah dalam pesta lima tahunan, tapi anak-anaknya yang
sudah remaja dibiarkan tidak lagi ikut halaqah.
Sampai kapan kita berlindung di balik kalimat, “Ini seleksi alam, dakwah sememangnya dipenuhi onak dan duri.
Hanya yang bermental baja yang mampu bertahan”. Kalimat ini sejatinya benar, tetapi menjadi salah ketika
dijadikan justifikasi untuk membenarkan kelemahan. Lemah karena tidak mampu menjaga atau mengelola
halaqah.
Betapa hari-hari ini kita melihat, terutama di sosial media, seakan kekaderan seorang ikhwah diukur dari
seberapa hebat ia mencacimaki pemerintah, dari seberapa sering ia meledek dan menertawakan penguasa.
Ikhwah lain yang mencoba menyejukkan agar sosial media tak bersuhu panas dibully dan diragukan
kekaderannya. “Antum kader, bukan?”
Padahal yang diragukan kekaderannya itu punya binaan banyak. Halaqahnya produktif sebab setiap binaannya
juga memiliki binaan.
Padahal yang diragukan kekaderannya itu telah belasan tahun bergabung dalam kafilah bernama tarbiyah.
Hanya karena tak larut dalam arus hiruk pikuk di Facebook, ia dicurigai bukan ikhwah, kekaderannya
diragukan, Laa haula walaa quwwata illa billah.
Padahal bina-membina dalam konteks tarbiyah lebih fundamental. Ia merupakan satu dari sejumlah perangkat
tarbiyah selain tatsqif, mabit, dan seterusnya. Sekiranya setiap kader hanya merekrut satu orang pertahun,
(sekali lagi, hanya satu orang pertahun!), maka tiap kali intikhabi semestinya kader dakwah bertambah menjadi
600 persen. Jika pertumbuhan kader dakwah tak mencapai 500 persen tiap kali pagelaran lima tahunan itu
dihelat, patutlah kita bermuhasabah. Ada apa dengan kader dakwah?
Adalah Syeikh Abdullah Qadiry Al-‘Ahdal mengatakan kalimat terkenal seperti dikutip Ust. Satria Hadi Lubis
dalam bukunya “Menjadi Murabbi Sukses”,
“Inna al-akh al-shadiq, laa budda an yakuna Murabbiyan”
(Seorang ikhwah yang benar, tidak bisa tidak, ia harus menjadi murabbi).
Halaqah adalah basis dakwah, sarana membentuk karakter. Dalam untai rabithah yang dipanjat khusyu’ tiap
kali lingkaran kerinduan itu usai, kita rasakan ikatan. Bahkan ikatan itu kita rasai pula ketika jumpa ikhwah di
lain tempat yang sama sekali belum kita kenal, namun serasa sahabat nan lama tak jumpa. Itulah ta’liful
qulub, ikatan hati antar kader dakwah. Allah mengikat hati mereka dalam ikatan iman.
Dan rabithah itu kita kenal dari majelis-majelis halaqah. Tidakkah rasa yang sama ingin kita sebarkan pula
kepada umat ini.
Angin bertiup perlahan, saya dan murabbi masih duduk di kursi bambu, di bawah rimbun pohon mangga. Teh
pagi masih hangat. Ia sudah nampak tua, rambutnya sudah memutih. Matanya tak lagi bening. Lama sudah ia
jalani dakwah ini sejak tahun 80-an. Dakwah ini butuh kader yang mampu membina.
Ikhwah, sudahkah antum punya binaan?
Setiap Kader dakwah perlu Baca ini tuk introspeksi...
"Ketika Dakwah Bermuhasabah"
...
Pagi itu, tak dinyana murabbi datang ke rumah. Waktunya sangat sempit karena saya harus mengisi ceramah
di pengajian kaum ibu dalam acara lebaran anak yatim di mushalla belakang rumah. Kebetulan adik-adik rohis
yang akan membawakan marawis pada pengajian tersebut sedang berkumpul di beranda rumah.
Mereka adalah binaannya binaan saya. Melihat itu, murabbi bercerita betapa dakwah membutuhkan junud
yang mampu membina. Beliau yang merupakan kader dakwah senior di daerah pinggiran Jakarta, nampak
merenung.
Obrolan pagi itu jadi semacam muhasabah. Betapa, katanya, demikian banyak kader dakwah tidak mampu
membina, padahal masyarakat yang membutuhkan sentuhan dakwah demikian banyak.
Lebih banyak ikhwah kita yang “menganggur”, tidak punya binaan. Terkadang, sudah dilimpahi sejumlah binaan
pun, mereka tak mampu merawatnya. Binaan lepas satu per satu, kian jauh dan makin menjauh.
Apa yang murabbi sampaikan di depan rumah pagi itu, adalah benar adanya. Tidak satu dua saya temui,
ikhwah yang dahulunya kader dakwah nan militan, kini asyik bercelana pendek di depan tokonya, bahkan
sembari memegang sebatang rokok.
Sebahagian lain memang masih memilih perahu dakwah dalam pesta lima tahunan, tapi anak-anaknya yang
sudah remaja dibiarkan tidak lagi ikut halaqah.
Sampai kapan kita berlindung di balik kalimat, “Ini seleksi alam, dakwah sememangnya dipenuhi onak dan duri.
Hanya yang bermental baja yang mampu bertahan”. Kalimat ini sejatinya benar, tetapi menjadi salah ketika
dijadikan justifikasi untuk membenarkan kelemahan. Lemah karena tidak mampu menjaga atau mengelola
halaqah.
Betapa hari-hari ini kita melihat, terutama di sosial media, seakan kekaderan seorang ikhwah diukur dari
seberapa hebat ia mencacimaki pemerintah, dari seberapa sering ia meledek dan menertawakan penguasa.
Ikhwah lain yang mencoba menyejukkan agar sosial media tak bersuhu panas dibully dan diragukan
kekaderannya. “Antum kader, bukan?”
Padahal yang diragukan kekaderannya itu punya binaan banyak. Halaqahnya produktif sebab setiap binaannya
juga memiliki binaan.
Padahal yang diragukan kekaderannya itu telah belasan tahun bergabung dalam kafilah bernama tarbiyah.
Hanya karena tak larut dalam arus hiruk pikuk di Facebook, ia dicurigai bukan ikhwah, kekaderannya
diragukan, Laa haula walaa quwwata illa billah.
Padahal bina-membina dalam konteks tarbiyah lebih fundamental. Ia merupakan satu dari sejumlah perangkat
tarbiyah selain tatsqif, mabit, dan seterusnya. Sekiranya setiap kader hanya merekrut satu orang pertahun,
(sekali lagi, hanya satu orang pertahun!), maka tiap kali intikhabi semestinya kader dakwah bertambah menjadi
600 persen. Jika pertumbuhan kader dakwah tak mencapai 500 persen tiap kali pagelaran lima tahunan itu
dihelat, patutlah kita bermuhasabah. Ada apa dengan kader dakwah?
Adalah Syeikh Abdullah Qadiry Al-‘Ahdal mengatakan kalimat terkenal seperti dikutip Ust. Satria Hadi Lubis
dalam bukunya “Menjadi Murabbi Sukses”,
“Inna al-akh al-shadiq, laa budda an yakuna Murabbiyan”
(Seorang ikhwah yang benar, tidak bisa tidak, ia harus menjadi murabbi).
Halaqah adalah basis dakwah, sarana membentuk karakter. Dalam untai rabithah yang dipanjat khusyu’ tiap
kali lingkaran kerinduan itu usai, kita rasakan ikatan. Bahkan ikatan itu kita rasai pula ketika jumpa ikhwah di
lain tempat yang sama sekali belum kita kenal, namun serasa sahabat nan lama tak jumpa. Itulah ta’liful
qulub, ikatan hati antar kader dakwah. Allah mengikat hati mereka dalam ikatan iman.
Dan rabithah itu kita kenal dari majelis-majelis halaqah. Tidakkah rasa yang sama ingin kita sebarkan pula
kepada umat ini.
Angin bertiup perlahan, saya dan murabbi masih duduk di kursi bambu, di bawah rimbun pohon mangga. Teh
pagi masih hangat. Ia sudah nampak tua, rambutnya sudah memutih. Matanya tak lagi bening. Lama sudah ia
jalani dakwah ini sejak tahun 80-an. Dakwah ini butuh kader yang mampu membina.
Ikhwah, sudahkah antum punya binaan?