Allahumma
soyyiban nafiian. Rintik air yang membasahi bumi dan dinginnya angin yang
dibawa oleh malam tak menapik semangat langkah kami untuk menghadiri kajian
rutin malam jum’at di salah satu masjid dekat kos kami. Hatiku berbisik apakah
masjid akan ramai seperti biasanya?
Tak
sampai 15 menit pertanyaanku telah mendapatkan jawabannya. Belum sampai di
mulut masjid, halaman masjid sudah begitu berjejal dengan jama’ah dai kondang
kota Bandung, yang biasa disapa Aa’.
Tak
heran, bisikku. Basahnya baju dan kotornya alas kaki oleh genangan air dari
langit tak menyurutkan langkah kaki jama’ah untuk mendapatkan ilmu dan
alhamdulillah aku dan dua orang temanku termasuk kedalamnya.
Malam
ini, ada yang special menurutku, sholat isyanya langsung di imami oleh Da’i
kondang tersebut, mungkin karena aku adalah orang baru di daerah ini dan baru
beberapa kali mengikuti kajian rutin malam jum’at disana ditambah lagi baru
pertama kali diimami sholat berjamaah bersama Da’i yang selama ini mengisi
kajian rutin tersebut. AR-Rahman membawa kesyahduan suara gemericik hujan
diluar sana. Ayat demi ayat dibacakan hingga pada ayat fabiayyi alla irrobikumatu kadziban. Seperti ada yang menyentuh dan
menggentur dawai hati ini, ianya merasuk hingga menumpahkan bulir hangat yang
tak tau lagi harus bagaimana ketika mendengar ayat itu. Masyaallah…Nikmat
Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan. Walau aku tak begitu mengetahui
apaarti setiap ayatnya, Alhamdulillah kalimat itulah yang menyentak-nyentak
hatiku. Seolah hatiku ingin mengatakan pada diri yang kerdil ini. Hai! Sadar!
Sudahkah kamu bersyukur??? Jika sudah, maka sudah berapa banyak syukurmu itu?
Seusai
sholat aku terdiam, mencoba meraba-raba kembali adakah aku senantiasa
bersyukur? Sudah berapa lama hidup, sudah berapa banyak air dan udara yang
dikasih Allah SWT tanpa imbalan? Aku jadi teringat dengan sebuah kalimat, jika
ranting-ranting di alam ini adalah penanya, air laut di dunia ini tintanya,
belumlah cukup untuk menuliskan betapa banyak nikmat yang telah allah SWT
berikan kepada kita, baik yang besar maupun yang kecil.
Istighfarpun
kembali bergulir, berharap semoga Allah SWT mengampuni kekufuran yang selama
ini dilakukan baik sengaja maupun tidak.
Materi
kajian malam ini sangat berkaitan dengan surah yang dibacakan oleh sang ustad
dalam sholat isya tadi. Syukur. Itulah temanya. Banyak hal yang bisa dipetik
dari materi yang disampaikan oleh sang ustad. Diantaranya adalah tentang kunci
syukur itu sendiri. Kunci syukur harus bermula dari hati. Dengan menapikkan segala
hal dan meyakinkan dalam hati bahwa apapun yang kita peroleh, apapun yang kita
pakai dan apapun yang kita gunakan semua semata-mata hanya pemberian dari Allah
SWT. Ya, hanya dari Allah SWT bukan dari orang tua, bukan dari teman ataupun
kekasih kita. Karena sesungguhnya mereka hanya perantara dari Allah SWT. Yang
kedua adalah dari lisan, latihlah lisan kita dengan senantiasa bersyukur pada
Allah SWT. Apapun dan bagaimanapun kondisi kita. Baik ketika lapang atau
sempit, baik ketika sehat maupun sakit dan ketika kita kaya maupun miskin.
Sungguh, allah SWT maha pemberi
tiada yang bisa membalasnya, keculi dengan kesyukuran kita padaNya. Sang ustad
berpesan, jangan jadikan keinginan kita menjadikan kita kufur nikmat, dan
jangan piker bahwa keinginan kita yang akan mengantarkan kita untuk
mendapatkannya. Melainkan hanya kesyukuranlah yang mengantarkan kita dekat
dengan keinginan itu. “Ingat! Dengan janji Allah SWt bahwa Orang yang
bersyukurlah yang akan ditambahkan nikmat dari Allah SWT kepadanya, bukan orang
yang berkeinginan yang akan ditambahkan nikma dari Allah SWT”. Aku terpukau
sejenak dengan kalimat Sang Ustad dan kembali meraba diri. Astaghfirullah….
Inilah kajian malam
jum’atku.
Allah
swt berfirman dalam Al Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang
artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Aku akan menambah
nikmat-Ku kepadamu dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.”
Wallahu’alam