Kebagian ngeresume Kaidah 17 dari buku Qowa'idud Da'wah Ilallah
Sekilas
tentang Qowa’idud (Kaidah) Dakwah Ilallah
Berdakwah
itu menabur cinta, karena ketika berdakwah, seorang dai mengupayakan
keselamatan umat manusia dari api neraka. Dai menawarkan surga sebagai hadiah
kepada orang-orang di sekelilingnya dan menunjukkan mereka jalan menuju
bahagia. Semua ini dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan.
Bahkan memang tidak boleh ada imbalan. “Hai kaumku, aku tiada meminta harta
benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”
(QS. Hûd: 29). (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 149)
Itulah
cinta sejati. Tidak ada cinta yang lebih murni dari kecintaan seorang dai
terhadap mad’unya seperti ini. Tidak ada ketulusan yang lebih tinggi dari
ketulusan seorang dai terhadap dakwahnya seperti ini. Tidak ada. Bahkan
berdakwah merupakan manifestasi tertinggi dari ibadah, yang wujudnya,
sebagaimana disampaikan oleh Ar-Razi adalah mengagungkan perintah Allah dan
berbelas kasih terhadap makhluk-Nya. (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 3 )
Karena
semua demi cinta maka segala aktivitas dakwah menjadi terasa ringan. Dan karena
semua berlandaskan cinta maka kerja-kerja dakwah membahagiakan. Sesibuk apa pun
seorang dai dengan dakwahnya, ia akan tetap bekerja dengan senang dan gembira.
Kerja dakwah tidak sebagaimana yang disangka oleh banyak orang; yang penuh
dengan kesulitan, kepayahan, kerugian, dan rasa sakit. Dakwah adalah sesuatu
yang enak dirasakan dan nyaman di hati. Untuk itu, para dai rela mengorbankan
sesuatu yang berharga dari miliknya di jalan dakwah. Mereka rela menahan ujian
dan godaan demi dakwah. Mereka menjadi orang yang paling bahagia dengan dakwah
di jalan-Nya. (Qowa’idud Da’wah Ilallah, h. 8).
Saat
kerja dibalut cinta, segalanya terasa indah dan penuh semangat. Dan agar cinta
itu dapat tersampaikan kepada sebanyak-banyak orang, maka dibutuhkan
kerja-kerja dakwah yang harmoni. Untuk itu, dibutuhkan kaidah-kaidah yang
mengaturnya. Ada aturan mainnya. Jadi, dakwah tidak bisa berjalan serampangan.
Seorang dai yang bijak tidak asal mengatakan semua yang diketahuinya kepada
semua orang yang dikenalnya. Seorang dai yang bijak harus mempertimbangkan
kadar kemampuan pikiran mad’u dan tidak boleh membebaninya di luar batas
kemampuan mereka. Titik kesimpulannya,
dakwah membutuhkan kaidah-kaidah yang mengaturnya, agar menjadi dakwah
muntijah; dakwah yang kebaikannya bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin orang
sebagai wujud Islam yang rahmatan lil alamin.
(Kutipan)
<3 span="">3>
KAIDAH 17
PEMAHAMAN YANG BENAR MENUJU AMAL YANG BENAR
1. Arti Al-Fahmu (Paham)
2. Unsur-unsur Pemahaman
3. Meninjau Ulang Pemahaman
<3 b=""> 3>
1. Arti Al-Fahmu (Paham)
Pemahaman berasal dari kata paham.
Apa arti kata paham? Apakah sama dengan arti kata tahu?
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
paham/pa·ham/ 1 n pengertian:
pengetahuan banyak, -- nya kurang; 2
n pendapat; pikiran: --
nya tidak bersesuaian dengan -- kebanyakan
orang; 3 n aliran; haluan;
pandangan:
ia mempunyai -- nasionalis; 4
v mengerti benar (akan); tahu benar
(akan):
sebenarnya saya sendiri tidak begitu -- akan
perkara itu; 5 a pandai dan mengerti benar
(tentang suatu hal):
ia -- bahasa Sanskerta; ia --
dalam pembuatan gula;angan lalu, -- tertumbuk, pb suatu hal yang
banyak halangannya meskipun tampaknya dapat dilakukan dengan mudah;
tahu1/ta·hu/ v 1 mengerti sesudah melihat
(menyaksikan, mengalami, dan sebagainya): ia
-- bahwa saya yang menolongnya; perkara mesin, dia lebih -- daripada saya;
2 kenal (akan);
mengenal: ia tidak -- akan sanak
saudaranya lagi; 3 mengindahkan; memedulikan: ia sudah tidak mau -- lagi kepada anaknya;
4 mengerti; berpengertian: siapa yang -- apa maksud
tanda ini?; 5 pandai; cakap: sedikit-sedikit
saya -- juga tentang mesin; 6 insaf; sadar: dia tidak -- akan kekurangannya; 7
cak pernah: petinju itu tidak -- menang; adikku tidak --
membolos;-- di asin garam, pb
banyak pengalaman; -- makan -- simpan, pb
dapat menyimpan rahasia baik-baik;
Menurut Said (2016) dalam Lisaanul Arab, paham (al-fahmu) berarti
mengetahui sesuatu dengan hati. Sedangkan tahu (al-ilmu) adalah mengenal
sesuatu (hlm. 215). Berdasarkan pengertian tersebut, maka arti kata paham dan
tahu jelas berbeda. Paham memiliki arti lebih dalam dari kata tahu, sedangkan
tahu hanya sekedar dipermukaannya saja.
Ilmu adalah pengetahuan dibawah pemahaman yang hanya terbatas pada hati,
karena itu kalimat “al-fahmu” terkait dengan “al-ilmu” dalam meletakan
definisinya. Biasanya penggunaan kalimat “fahimta?” (sudahkan anda paham),
setelah diyakini segala informasi dengan gambaran yang seutuhnya telah
tersampaikan, dan segala sisinya telah diimplementasikan dengan baik, tidak
hanya sekedar tahu. Seorang pelajar tidak akan paham tentang perbandingan
kimiawi bila hanya mengetahui rumusnya, sebelum Ia pergi ke laboratorium untuk
menguji perbandingan tersebut, sehingga Ia dapat melihat dengan mata kepalanya
sendiri, mendengar dan mencium sesuatu yang baru, pada saat itulah analisanya
tidak hanya berdasarkan pengetahuan semata tetapi berdasarkan pemahaman, karena
Ia telah mendapatkan dengan perasaan dan hatinya sesuatu yang banyak yang tidak
sempurna hanya dengan rumus belaka.
Apakah pengetahuan yang parsial akan mempengaruhi sebuah pemahaman?
Yup, tentu saja. Pengetahuan yang parsial akan menyebabkan mundurnya
pemahaman
Apa dampaknya dalam dakwah?
Pengetahuan yang parsial tidak akan membentuk pemahaman yang kaffah.
Seperti siswa yang hanya mengetahui sebuah teori bahwa reaksi kimia ditandai
dengan beberapa ciri-ciri yaitu menghasilkan endapan, menyebabkan perubahan warna, menghasilkan gas, dan menghasilkan perubahan suhu. Pengetahuan itu tidak dapat menjadi
sebuah pemahaman yang bulat, jika siswa tidak mencari tahu atau mengaitkan
teori yang ia peroleh dengan kegiatan pratik. Pengetahuan yang parsial tentu
saja juga dapat terjadi pada pelaku dakwah yaitu da’i/ah (khususnya) yang akan
menyebabkan keterbelakangan dalam pemahaman itu sendiri. Parahnya, jika pelaku
dakwah (da’i/ah) menyampaikan pengetahuan yang bertolak dari pemahamannya yang
parsial dan objek dakwah (umat islam) menerimanya mentah-mentah (sudah puas
begitu saja tanpa mencari lagi dan lagi), maka umat islam itu sendiri yang
menjadi korban dalam “kebodohan”.
“Pengetahuan yang
sektoral akan menjadi penyebab mundurnya pemahaman, karena itu umat Islam
dewasa ini banyak ditimpa pengetahuan sektoral yang secara zahir tampak tinggi
pengetahuannya tapi hakekatnya masih belum memiliki pemahaman yang baik. Kita
melihat ada kalangan Fuqoha dan Ulama yang memiliki banyak pengetahuan dan
spesialisasinya, tetapi mereka tidak menguasai arah spesialisasinya di tengah
berbagai pengetahuan lainnya, dan tidak memfokuskan spesialisasinya menyatu dan
bersinergi dengan spesialisasi lainnya, dan tidak mencari keterkaitan dan
keterikatan antara satu dengan yang lainnya, serta mereka tidak hidup dengan
spesialisasinya itu dalam sebuah bangunan yang utuh dan menyeluruh dalam
mengatasi permasalahan Islam. Spesialisasi
semacam itu adalah sebuah kekeliruan, kita dapat menyebutnya sebagai penyakit :
تضخم الفهم, (pembengkakan
pemahaman), penyakit ini harus diantisipasi dengan kedalaman pemahaman. Ada
individu Muslim yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menekuni satu macam
aktifitas intelektual, lalu ditimpa penyakit arogansi intelektual, Ia
berpersepsi bahwa segalanya dibangun dan disandarkan pada ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, kecenderungan penyakit ini bukan hanya terjadi di zaman sekarang
ini , tetapi sejak umat terdahulu. Ketika sebagian ulama memandang bahwa ilmu
pengetahun itu ada pada fiqih sementara sebagian lainnya mengatakan ada pada
hadits, sebagiannya lagi menyatakan pada tafsir. Lalu muncul arus baru yang
berpandangan bahwa solusi menyeluruh atas problematika umat adalah dengan
pendidikan akhlak dan pembiasaannya. Sebagian lainnya berpendapat dengan
pemikiran politik dan sebagian lagi dengan operasi militer, dan berbagai
pandangan lainnya yang merefleksikan pemahaman yang “membengkak” (تضخم الفهم)” (kutipan).
2. Unsur-unsur Pemahaman
Untuk
menghindari virus pemahaman dan berbagai penyakitnya, harus ada analisa logis terhadap unsur-unsur pemahaman. Hal ini bertujuan :
a.
Untuk
merubah tatanan pengetahuan parsial menjadi pengetahuan yang komprehensif;
b.
Untuk
menjadikan pengetahuan
yang satu benih menjadi beberapa benih yang tersebar.
Adanya analisis logis terhadap unsur-unsur
pemahaman akan membantu proses
penyembuhan fenomena penyakit sosial dan
akhlak (sebagai akibat
ketimpangan pemahaman islam atau parsial), setelah sebelumnya dilakukan penyembuhan
penyakit persepsi dan pemikiran, karena penyembuhan
sangat tergantung dengan ketepatan diagnosa, sebagimana Muhammad Abduh
berkata :
ما أقوى المسلمين
أفراداً وأضعفهم جماعة، وما
أعظم الإسلام وأضعف المسلمين
“Alangkah kuatnya individu kaum Muslimin,
namun alangkah lemahnya jamaah mereka. Alangkah agungnya Islam, namun alangkah
lemah umatnya”
Untuk memahami dinamika sejarah
islam dan mengetahui rahasia di balik kekuatan ataupun kelemahan umat pada periodenya,
maka perlu ada klasifikasi antara periode pemahaman yang salah dari periode
pemahaman yang benar. Kita tidak bisa hanya cukup mengatakan bahwasanya era nubuwwah (kenabian) dan khilafah
rasyidah adalah era yang penuh dengan kekuatan dan dinamika, dan era setelahnya
era yang minus dinamika sampai pada sebuah keadaan yang disebut era kemunduran.
Harus dianalisa kekeliruan pemahaman agar kita
dapat melewati era kemunduran
menuju era keemasan lagi. Hanya dengan inilah kita dapat menyambungkan
kembali
mata rantai yang terputus antara zaman kita dengan zaman generasi
pertama umat ini.
Untuk memahami unsur-unsur pembentuk pemahaman sahih, maka
pemahaman dianalogikan (digambarkan) ibarat peta geografis yang harus memenuhi 3 unsur (rukun). Hal ini
akan memudahkan kita dalam menganalisa kekeliruan pemahaman yang melanda umat
islam (umumnya) saat ini dan da’i (khususnya).
UNSUR
|
ANALOGI (IBARAT
PETA GEOGRAFIS)
|
PEMAHAMAN DALAM
ISLAM (yang seharusnya)
|
Dampak dari
pemahaman islam yang salah (parsial)
|
PERTAMA
|
Mencakup semua bagian :
· kota
· desa
· jalan
· gunung
· sungai
(harus lengkap dan akurat dalam menggambarkan suatu
objek yang dipetakan)
|
Harus mencakup semua bagian dalam islam, seperti
harus memahami/mempelajari:
·
ilmu hukum
·
ilmu politik
·
ilmu tazkiyatun nafs
·
ilmu tarbiyah fikriyah
·
ilmu tarbiyah jasadiyah
·
ilmu dalam perbaikan individu maupun kelompok
(masyarakat)
·
dan lainnya
(tidak boleh egois dengan bidang keilmuannya, bidang
keilmuan lainnya tidak dilirik atau tidak diperhatikan).
|
Jika pemahaman tentang islam cacat maka, akhlak dan
amal juga cacat.
|
KEDUA
|
Mencakup
segala bagiannya, besar-kecil dan tinggi-rendahnya merupakan skala yang
alamiah (Menggunakan skala yang sesuai)
(tidak boleh skala
itu diperbesar atau diperkecil semaunya, karena peta tersebut akan menipu orang lain)
|
Memahami islam harus dengan skala yang benar.
Seperti memahami ayat-ayat allah SWT dan memahami
hadist, dan juga kitab-kitab terkait lainnya.
(tidak bisa yang tertera di Al qur’an dan hadist,
di”perbesar” atau di”perkecil” semuanya, maksudnya yang menguntungkan bagi
individu dan golongannya, dipertahankan dan diperjuangkan, sedangkan yang
lainnya diabaikan.)
(Memahami kedudukan Allah SWT, Rasulullah,
nabiallah, hukum-hukumnya, aturan-aturannya,
manusia itu sendiri dihadapan Tuhannya, dan memahami kedudukan
khalifah dan pemimpin) à harus pada
porsinya.
|
Sebagian
umat Islam ada yang terkena semacam pembengkakan pemahaman dalam menyikapi
berbagi permasalahan Islam dan problematikanya. Topik mengenai Khilafah dan
amal memang penting dalam kontek pemahaman yang sehat, akan tetapi hanya
total pada topik itu saja, seolah-olah telah memenuhi seluruh topik
keislaman, sementara di sisi lain urusan-urusan keislaman lainnya dianggap
sepele dan diabaikan, maka hal itu sama saja dengan meruntuhkan khilafah itu
sendiri. Demikian pula melihat tarbiyah ruhiyah dan tazkiyahnya dengan
mengenyampingkan aktifitas keislaman lainnya juga hanya akan menghancurkan
ruh itu sendiri.
Contohnya
:
· Kaum
Yahudi yang tidak mengenal agamanya sendiri, hanya karena mereka manjadi bangsa pilihan Tuhan, menjadikan pemahaman mereka melampaui
batas, sampai pada persepsi bahwa ras mereka lebih unggul dari segala ras
yang ada, dan menuntut apapun diluar
ras mereka untuk tunduk, sampai Allah SWT juga direndahkan oleh mereka.
· Begitu pula kaum Nasrani yang tidak
memperlakukan Nabi Isa kecuali menuhankan dan mengagungkannya sehingga
mereka pun menyimpang dan sesat.
·
Sedangkan
orang-orang Musyrik mereka mengkultuskan tokoh-tokoh mereka,
kemudian beralih kepada menuhankan patung untuk mengenang tokoh-tokoh mereka,
akal dan jiwa mereka telah dikuasai oleh kemusyrikannya, begitulah bila kita
menelusuri bangsa-bangsa di muka bumi ini, kita akan dapatkan bahwa kerancuan
pemahaman mereka telah melampaui kemurnian akidahnya.
·
Kaum Musyabihah maupun Mu’atilah yang dalam
memaknai sifat Allah menyamakannya
dengan sifat manusia.
·
Kaum Syiah yang menicintai Ali dan ahlul
bait yang mengeluarkan mereka dari pemahaman yang lurus.
·
Khawarij yang ingin mengetahui kejelasan
posisi muslim yang bermaksiat justru mengafirkan
orang yang masih muslim.
(hal ini juga terdapat pada tubuh para da’i
saat ini) à
(selengkapnya hl, 230)
Seorang da’I yang memiliki pemahaman yang parsial
|
KETIGA
|
Segala sesuatu ditempatkan pada posisi yang
semestinya.
|
Pemahaman harus ditempatkan pada posisi yang
semestinya, tidak tertukar
penempatannya, bahkan masing-masing unsur tampak pada tempatnya yang alami dalam
urutan skala prioritas.
(Misal dalam peperangan harus sesuai dengan syarat
dan tahapannya)
|
Bila
sebuah tahapan dimulai sebelum waktunya, maka akan merusak tahapan itu
sendiri.
(Maka, perlu berhati-hati pada musuh-musuh Islam yang berusaha menggiring ke arah tsb)
|
Berdasarkan
3 unsur-unsur pembentukan pemahaman yang dijabarkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebuah pemahaman harus memenuhi bagian-bagiannya, memiliki
skala yang benar, dan posisi serta prioritas yang semestinya. Lihatlah
pola kemeja di bawah ini, apa yang terjadi jika bagian-bagian dari sebuah
kemeja tidak terpenuhi, skala yang tidak sama atau tidak sesuai, dan posisi
yang tidak semestinya. Kemeja tersebut tidak akan terlihat seperti layaknya
sebuah kemeja, bukan?
Jika Subyek dakwah tidak meninjau
unsur-unsur pembentuk pemahamannya dan obyek dakwah yang “Nerimo” (juga tidak
mau mengasah pemahamannya). Maka, bayangkan BAGAIMANA
DENGAN “TAMPILAN” UMAT ISLAM SAAT INI, NANTI, dan ESOK?
3. Meninjau Ulang Pemahaman
Syarat
kokohnya sebuah manhaj dan selamatnya cara berpikir adalah dengan menjaga dan
menghadirkan konsep dan teori dalam benak di setiap periode gerakan dakwah
serta menjaga
ghirah yang stabil (tidak berlebihan dalam menangani sesuatu dan
acuh bagian lain). Jika
syarat
tersebut tidak terpenuhi maka gerakan dakwah akan mudah didatangi penyusup.
<3 span="">3>
---
Sekelumit
tentang kualifikasi Da’i
Menurut Jum'ah Amin Abdul
Aziz, antara dakwah dan da’i-nya tidak bisa dipisahkan, karena seorang muslim
yang memahami dakwahnya dengan pemahaman yang benar, akan tetapi kurang tepat
dalam menyampaikan dakwahnya kepada manusia sama bahayanya dengan seorang muslim
yang tidak memahami Islam dengan pemahaman yang benar, akan tetapi ia pandai
berargumen, pandai bicara, dan baik dalam menyampaikan. Kelompok yang
pertama tidak pandai menyampaikan sekalipun dia paham, sementara yang kedua
baik dalam menyampaikan meski dengan segala kebodohannya. Oleh karena itu,
Islam hanya akan menjadi dakwah yang benar apabila dibawakan seorang da’i yang wa’in
(paham) dan berakhlaq.
Berpijak pada hal tersebut,
maka kedudukan da’i yang begitu penting dalam aktifitas dakwah, harus dilengkapi
dengan beberapa kualifikasi. Dari sini maka da’i dituntut memiliki 3 (tiga)
syarat yaitu:
1.
Syarat yang Menyangkut Jasmaniyah.
Dakwah memerlukan akal yang
sehat, sedangkan akal yang sehat terletak pada badan yang sehat (Al-aqlu
as-saliymu fii al-jismi as-saliymu). Oleh karena itu seorang da’i
memerlukan persyaratan jasmani.
Sebenarnya aktivitas dakwah
dapat juga dilakukan oleh orang yang tidak sehat jasmaninya, akan tetapi
apabila seorang da’i yang profesional yang berdakwah dengan sasaran yang
berjumlah banyak, maka kesehatan jasmani masih juga diharuskan. Sebab kondisi
badan yang tidak memungkinkan sedikit banyak akan mengurangi kegairahan dan
ketahanannya untuk berdakwah.
Dakwah yang dilakukan oleh
orang yang dalam keadaan sakit, bukannya membuat da’i tidak bergairah atau
kurang spirit, tapi dapat mengganggu konsentrasi pikiran da’i itu sendiri, di
samping itu obyek dakwah merasa tidak mendapatkan layanan memuaskan, terlebih
apabila penyakitnya yang dapat mendatangkan bahaya/menular kepada obyek dakwah.
Maka, seorang da’i mutlak
diperlukan untuk menjaga kesehatannya, agar dalam melaksanakan dakwahnya dapat
mencapai pada tujuan yang diinginkan.
2.
Syarat Ilmu Pengetahuan
Syarat ilmu pengetahuan yang
harus dimiliki da’i yaitu ia harus memahami secara mendalam ilmu, makna-makna
serta hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'ān dan al-Sunnah. Bentuk
pemahaman itu dapat dirinci ke dalam tiga hal :
Pemahaman terhadap aqidah
Islam dengan baik dan benar serta berpegang teguh pada dali-dalil al-Qur'ān dan
al-SunnahPemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya di antara manusia.
Pemahaman
terhadap ketergantungan hidup untuk akhirat dengan tidak meninggalkan urusan
dunia. Sejalan
dengan uraian di atas, menurut Hamzah Ya'kub setiap da’i harus:
·
Mengetahui tentang al-Qur'ān dan Sunnah Rasul
sebagai pokok agama Islam
·
Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada
al-Qur'ān dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadith, sejarah kebudayaan Islam dan
lain-lain.
·
Memiliki pengetahuan yang menjadi alat
kelengkapan dakwah seperti: teknik dakwah, ilmu dakwah, ilmu jiwa (psychology),
sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
·
Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada
jalan yang diridai oleh Allah. Demikian juga ilmu retorika dan kepandaian
berbicara serta mengarang.
Selain
pengetahuan di atas, da’i harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang:
·
Obyek dakwah, yaitu pemahaman bahwa orang yang
dihadapi memiliki keaneka ragaman dalam segala seginya.
·
Dasar dakwah, yaitu pemahaman terhadap latar
belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah.
·
Tujuan dakwah, yaitu pemahaman terhadap apa
yang akan dicapai di dalam usaha dakwah.
·
Materi dakwah, yaitu pemahaman terhadap
pesan/informasi atau ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara
benar atau baik.
·
Metode Dakwah, yaitu pemahaman terhadap
cara-cara yang akan dipakai dalam melaksanakan dakwah.
·
Alat dakwah, yaitu pemahaman terhadap alat-alat
yang perlu digunakan dalam berdakwah.
(Wallahualam)